PENERAPAN PENDEKATAN JAMINAN MUTU LAYANAN KESEHATAN DI LINGKUNGAN PUSKESMAS

Studi kasus Puskesmas Pulogadung
Puskesmas Pulogadung merupakan sebuah gedung tua yang dibangun oleh Inpres bidang kesehatan pada awal Pelita I di daerah berpenduduk padat di pinggiran kota Jakarta Timur. Penduduk di sekitar puskesmas tersebut adalah keluarga pekerja. Asap polusi dari industri-industri yang berlokasi di sekitar Pulogadung terbawa oleh angin dan tertahan di kelurahan ini, tempat penduduk tinggal dalam rumah-rumah kumuh.
Dari Senin sampai Jumat, Puskesmas ini buka dari pukul 08.00-16.00 sementara hari Sabtu sampai pukul 12.00. Biasanya pada jam 12.00 pendaftaran pasien ditutup. Di luar hari dan jam tersebut, pasien hanya akan memperoleh pertolongan gawat darurat pada rumah sakit yang jaraknya 8 km dari puskesmas ini, yaitu dari Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun.
Di Puskesmas bertugas 3 dokter umum yang bekerja purnawaktu; seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bekerja paruhwaktu, hanya datang 2 kali seminggu pada pagi hari; seorang dokter spesialis kesehatan jiwa yang bekerja paruhwaktu, datang seminggu sekali pada pagi hari; dan seorang dokter gigi paruhwaktu, datang 2 kali seminggu pada sore hari. Paramedis yang bertugas terdiri dari 6 perawat (Suster Tuti yang paling senior dan ditunjuk sebagai pemimpin paramedis), 1 perawat gigi, 5 bidan, 2 asisten apoteker, 2 penata gizi, 2 laboran, 2 sanitarian, 1 jurim, dan 8 petugas administrasi.
Apotek puskesmas berupaya agar obat yang sering digunakan selalu tersedia, walau tidak jarang terjadi kehabisan obat pada akhir bulan. Tiap hari puskesmas selalu ramai, tetapi hari Senin pagi yang paling ramai karena pada umumnya semua pasien yang sakit pada hari minggu akan datang berobat pada Senin pagi.

Jam menunjukkan pukul 09.45: percakapan antarpasien
“Akhirnya dokter datang juga. Saya melihat kejadian yang sama minggu yang lalu; sulit sekali menerka kapan dokter datang dan pergi.”
“Dokter mana yang akan ibu jumpai?”
“Saya minta kepada petugas kartu agar saya dapat bertemu dengan dokter yang dulu memeriksa bayi saya, tapi saya tidak tahu apakah dokter ini masih dapat menerima saya. Petugas kartu itu mencampakkan begitu saja kartu berobat saya, karena saya memberikan kartu berobat saya. Seharusnya saya memberikan kartu berobat bayi saya. Tapi ini merupakan kesalahannya, karena dia menanyakan, “Mana kartu ibu?”, maka saya memberikan kartu berobat saya.
“Saya tiba di Puskesmas sudah agak terlambat, sebenarnya saya ingin menjumpai Dr. Sudiranto, tetapi pasien yang telah menunggu untuk diperiksa oleh Dr. Sudiranto sudah begitu banyak. Saya hanya ingin agar dokter yang sama yang telah memeriksa Wawan dua kali, dapat memeriksa anak saya lagi untuk melihat apakah sudah ada perbaikan atau belum.
Bayi anda sedang tidur, sudah berapa lama dia sakit?”
“Kasihan. Ia mulai batuk Jumat malam. Kemarin saya hampir membawanya ke rumah sakit, tetapi saya tidak jadi melakukannya, karena tidak ada yang menjaga anak saya yang lain. Bayangkan, hari Minggu adalah hari libur, tidak ada orang yang bekerja dan puskesmas tutup.
Menurut ibu kira-kira jam berapa ibu akan dapat giliran diperiksa oleh dokter?”
“Melihat antrian panjang begini, mungkin saya baru mendapat giliran pada kira-kira jam 11.30, tetapi saya yakin dokter baru akan memeriksa bayi saya setelah jam 12.00.”
“Karena ibu datang terlambat, antriannya sudah panjang. Jika tiba di Puskesmas tepat pada jam 08.00, biasanya antriannya tidak terlalu panjang.”

Jam menunjukkan pukul 09.45: Dokter
(Hari Senin lagi! Lihat pasien-pasien ini. Mengapa pasien tidak datang pada hari Selasa atau hari Rabu atau hari lain dan mengapa semuanya ingin antri pada hari Senin. Keliatannya orang-orang ini mempunyai hobi yang sama, yaitu antri pada hari Senin pagi. Dalam pikiran dokter ini sebagian besar orang-orang ini keliatannya tidak terlalu sakit. Mungkin sebagian besar kunjungan ulang sehingga mereka dapat diperiksa dengan cepat. Memang perlu begini! Ada dua pasien pribadi yang harus saya periksa pada pukul 03.00 sore, dan saya ingat saya berjanji untuk memeriksa seorang pasien pribadi lain siang ini disini. Siapa ya ..?).
“Selamat pagi Bu Tuti. Banyak pekerjaan hari ini?”
“Banyak sekali, dokter. Petugas kartu tidak tahu bahwa dokter akan datang terlambat, jadi sudah ada 11 pasien yang telah menunggu.”
“Mobil saya kembali rewel lagi pagi ini, suster.” (Yang terbayang dalam benak dokter ini ialah ada tambahan 2 orang pasien pribadi yang dapat membantu membayar biaya perbaikan mobilnya. Berapa pasien pribadi yang harus saya periksa agar hasilnya dapat saya gunakan untuk membeli mobil Toyota Corolla baru?)
“Tolong panggilkan pasien pertama, suster?”
“Dokter Marwoto saat ini sedang memeriksa pasien dalam kamar periksa Anda, dokter!”
(Perawat ini sengaja mengorbankan kamar periksa saya supaya bisa bekerja cepat. Perawat ini mengatur penggunaan ruangan seolah-olah puskesmas ini miliknya, menyusahkan dokter dan menganggap dokter sebagai setan lewat saja).
“Suster, dapatkah kita minta agar Dr. Marwoto pindah tempat, supaya saya dapat segera mulai memeriksa pasien sekarang?”
“Tidak dapat, dokter. Pasien ini penderita skizofrenia yang baru saja ditangkap di ruang tunggu karena mengacau.”
“Apakah tidak ada tempat lain yang dapat digunakan oleh Dr. Marwoto untuk memeriksa pasiennya? (Pertanyaan yang bodoh. Maaf ya suster.)
“Pertanyaan yang sulit, dokter. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan kepadanya. Ruang tunggu bukan tempat yang tepat untuk memeriksa pasien psikiatri. Saya telah memindahkannya dua kali pagi ini. Jika Dr. Marwoto bekerja lebih lama lagi, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan. Setiap hari Senin saya menghabiskan banyak waktu saya seperti resepsionis hotel saja, untuk mencarikan tempat pemeriksaan bagi dokter agar dapat bekerja.”

Jam menunjukkan pukul 10.20: Percakapan antarpasien
“Saya lebih suka diperiksa oleh dokter yang sudah tua. Mereka mengobati dan memperhatikan kita, tidak hanya memberikan resep dan meminta kita untuk kembali seminggu lagi. Berapa lama sakit anak ibu?”
“Sudah 2 minggu. Dokter mengatakan bahwa ia menderita bronkitis. Saya harap kali ini obat yang diberikan dapat menyembuhkanya. Jika tidak dapat sembuh, lebih baik saya pergi ke dokter swasta.”
“Dokter disini maupun dokter swasta sama saja. Disini kita harus membayar dengan waktu. Disana kita harus membayar dengan uang. Saya tidak punya keduanya, tetapi mengadakan waktu lebih mudah daripada mengadakan uang. Saya pernah sekali ke dokter swasta. Saya harus membayar Rp. 30.000 toh saya tidak sembuh. Disini saya tidak membayar, dan saya juga tidak sembuh. Jadi, ya sama saja.”
“Tetangga saya, ibu Murti, minggu yang lalu kakinya terpaksa dijahit karena luka akibat terperosok ke dalam got di depan apotek.”
“Ruang tunggunya sumpek dan berdesakan dan mungkin karena terlalu lama menunggu suara tangis bayi selalu memenuhi ruang tunggu. Selain itu, sampah dan puntung rokok bertebaran dimana-mana”. “Habis tong sampah tidak ada dan bangku untuk tempat duduk tidak cukup tersedia.”
“Lihat, itu empat orang ibu yang sedang hamil berat terpaksa duduk di lantai, menunggu pemeriksaan bidan, kasihan!”
“Sebulan yang lalu sewaktu membawa bayi saya untuk mendapatkan imunisasi, saya melihat satu jarum suntik digunakan untuk tiga orang bayi, sedang pada imunisasi sebelumnya satu jarum suntik untuk seorang bayi saja.”

Jam menunjukkan pukul 12.15: Dokter di ruang periksa
“Ya, Bu Tuti?” (Perawat ini tidak rela membiarkan saya sendiri bersama pasien untuk 2 menit saja.)
“Dokter, amoksisilin pada apotek puskesmas sudah habis. Asisten apoteker meminta agar dokter menuliskan resep obat yang lain saja.”
“Apakah mereka menganjurkan obat yang lain?” (Tentu saja tidak. Pertanyaan bodoh yang lain.)
“Tentu saja tidak, dokter. Dokterlah yang bertanggung jawab untuk menentukan obat dan menulis resep”.
“Tolong masukan pasien berikutnya. Ini anak Pak Sukardi. Oh, ya Bu Tuti apakah punya sudip lidah? Saya kira baterai otoskop ini sudah mati.” (Kasihan perawat ini, ia mencoba menghidupkan otoskop itu dan memang tidak menyala.)

Jam menunjukkan pukul 12.25: Percakapan dokter dengan pasien
“Sakitnya apa?”
“Ia sangat sakit. Jumat malam ia panas dan batuk dan tidak seorang pun diantara kami bisa tidur. Hari Sabtu saya pikir ia akan membaik ketika ia mulai mau makan sedikit, tapi kemudian ............”
“Buka bajunya, Bu. Umurnya 6 bulan bukan?” (Ada sedikit tarikan dinding dada ke dalam? Tidak begitu jelas.) “Apakah ada demam?”
“Seperti yang saya katakan, ia batuk dan menangis sepanjang malam dan demam. Saya buka selimutnya agar dia terasa lebih dingin dan kembali menyelimutinya lagi jika sudah dingin.”
“Apakah ibu melihat adanya tarikan dinding dadanya ke dalam?”
“Tidak dokter”. (Dalam benak ibu istilah kedokteran apa ini?)
“Saya akan mendengarkan suara pernapasannya. Tolong balikkan badannya.” (Waktu berjalan dengan cepat. Memang hari ini hari Senin. Berapa banyak lagi kasus pneumonia yang harus saya periksa hari ini?)
“Baiklah. Pernapasannya cepat, tetapi nadinya masih dibawah 100. Saya tidak mendengar ronki maupun melihat adanya sianosis. Oleh karena itu, saya tidak merujuknya ke rumah sakit. Segera berikan obat pada resep ini, 1 sendok teh tiap 4 jam dan bawa kembali kemari setelah 2 hari berobat di rumah. (Wah, saya minta isteri pak camat untuk datang jam 13.30. Padahal masih ada 20 pasien lagi yang harus saya periksa di sini. Bagaimana harus menyelesaikan ini?) “Bu, tolong pakaikan baju anak Ibu di ruang tunggu saja, supaya saya bisa memeriksa pasien berikutnya. Terima kasih!.”

Jam menunjukkan pukul 12.35: Pasien di apotek
“Kami tidak punya amoksisilin saat ini, Bu. Tadi seharusnya dokter menulis resep obat yang lain, seperti penisilin.”
“Apakah saya harus kembali kepada dokter yang memeriksa tadi?”
“Tidak perlu, dekat puskesmas ini ada apotek yang dapat menyediakan obat ini”.

Jam menunjukkan pukul 12.45: Percakapan antarpasien
“Apa yang dikatakan dokter tentang penyakit anak ibu? Apakah bronkitis, seperti anak saya?”
“Ya, saya kira begitu. Dokter mengatakan bahwa anak saya tidak sianosis. Apakah sianosis itu, keliatannya seperti penyakit yang berat. Jadi saya harus berterima kasih bahwa anak saya tidak menderita sianosis.”
“Apa yang telah dilakukan dokter pada anak Ibu?”
“Ia hanya mendengarkan suara pernapasannya, hanya itu.”
“Apakah dokter tidak mengukur suhu badannya? Anak saya Alimin tidak senang cara ini (memasukkan termometer ke dalam rektum); seharusnya ada cara lain yang lebih baik untuk melakukannya.”
“Tidak, bahkan dokter tidak meletakkan tangannya pada pergelangan tangan anak saya. Jika pasien sudah banyak seperti ini, dokter selalu memeriksa dengan terburu-buru. Mereka langsung memberi kita obat dan segera menyuruh kita pergi. Jika anak saya tidak juga sembuh besok, saya akan membawanya ke dokter swasta. Tidak ah! Saya akan kembali kemari lebih pagi dan saya akan berupaya menemui Dr. Sudiranto.

Studi kasus hari Senin di atas merupakan saduran dari Monday Case hasil karya Dr. Michael Bernhart. Kejadian yang diceritakan dalam Monday Case ini merupakan hasil wawancara pada pasien dan dokter dari 4 klinik di kota metropolitan Santiago, Chile yang dikumpulkan oleh Dra. Gilda Gnecco dan staf. Berdasarkan hasil wawancara tersebut Dr. Michael Bernhart menyusun Monday case ini dalam bulan September 1992 untuk kepentingan The Agency for International Development dan The Center for Human Services.
Sewaktu proyek CHN3 bantuan Bank Dunia akan melakukan pelatihan jaminan mutu layanan kesehatan di Bandung, Jawa Barat, saya sebagai salah satu pelatih dalam pelatihan tersebut memilih studi kasus ini sebagai salah satu bahan ajar. Atas seizin Dr. Michael Bernhart saya menyadur Monday Case dan berupaya menyesuaikannya dengan situasi puskesmas, kemudian saya menambah beberapa dimensi mutu layanan kesehatan ke dalam studi kasus sehingga studi kasus ini memuat hampir semua definisi mutu layanan kesehatan yang penting.
Dengan terdapatnya semua dimensi mutu layanan kesehatan yang penting didalamnya, studi kasus hari Senin tersebut dapat menjadi suatu bahan ajar jaminan mutu layanan kesehatan yang cukup memadai, karena setelah membaca studi kasus dengan segera kita dapat mengidentifikasi semua dimensi mutu layanan kesehatan yang ada. Untuk memudahkan pembahasan studi kasus ini, sebaiknya kita mulai dengan memilah semua keluhan yang ada, baik keluhan pasien, dokter ataupun perawat berdasarkan dimensi mutu layanan kesehatan. Keluhan tersebut akan terungkap dari hasil percakapan antarpasien, pasien dengan dokter, dan dokter dengan perawat.
Percakapan antarpasien atau keluhan pasien, antara lain:
Sulit sekali menerka kapan dokter datang dan pergi. (Dimensi akses dan dimensi ketepatan waktu)
Petugas kartu itu mencampakkan begitu saja kartu berobat saya, karena saya memberikan kartu berobat saya. Seharusnya saya memberikan kartu berobat bayi saya. Tapi ini merupakan kesalahannya, karena dia menanyakan: “Mana kartu ibu?”, maka saya berikan kartu berobat saya. (Dimensi hubungan antar manusia, dimensi informasi, dan indikasi ketidakpuasan pasien)
Sebenarnya saya ingin menjumpai Dr. Sudiranto. Saya hanya ingin agar dokter yang sama yang telah memeriksa Wawan dua kali, dapat memeriksa anak saya lagi untuk melihat apakah sudah ada perbaikan atau belum. (Dimensi kesinambungan dan dimensi efektivitas, sudah dua kali berobat belum sembuh)
Kemarin saya hampir membawanya ke rumah sakit, tetapi saya tidak jadi melakukannya, karena tidak ada yang menjaga anak saya yang lain. (Dimensi akses)
Bayangkan, hari Minggu adalah hari libur, tidak ada orang bekerja dan puskesmas tutup. (Dimensi akses)
Melihat antrian panjang begini. (Dimensi akses dan dimensi efisiensi)
Saya lebih suka diperiksa oleh dokter yang sudah tua. Mereka mengobati dan memperhatikan kita, tidak hanya memberikan konsep dan meminta kita untuk kembali seminggu lagi. (Dimensi kompetensi teknik, dimensi hubungan antarmanusia dan indikasi kepuasan)
Dokter disini maupun dokter swasta sama saja. Di sini kita harus membayar dengan waktu. Di sana kita harus membayar dengan uang. Saya tidak punya keduanya, tetapi mengadakan waktu lebih mudah daripada mengadakan uang. Saya pernah sekali ke dokter swasta. Saya harus membayar Rp. 30.000 toh saya tidak sembuh. Disini saya tidak membayar dan saya juga tidak sembuh. Jadi ya sama saja. (Dimensi akses, dimensi efektivitas dan dimensi efisiensi).
Tetangga saya, Ibu Murti, minggu yang lalu kakinya terpaksa dijahit karena luka akibat terperosok ke dalam got di depan apotek puskesmas. (Dimensi keamanan)
Ruang tunggunya sumpek dan berdesakan dan mungkin karena terlalu lama menunggu suara tangis bayi selalu memenuhi ruang tunggu. Selain itu, sampah dan puntung rokok bertebaran dimana-mana. (Dimensi kenyamanan)
Habis tong sampah tidak ada dan bangku untuk tempat duduk tidak cukup (Dimensi kenyamanan)
Lihat empat orang ibu yang sedang hamil berat terpaksa duduk di lantai menunggu pemeriksaan bidan, kasihan. (Dimensi kenyamanan)
Sebulan yang lalu sewaktu membawa bayi saya untuk mendapat imunisasi, saya melihat satu jarum suntik digunakan untuk tiga orang bayi, sedang pada imunisasi sebelumnya hanya satu jarum suntik untuk seorang bayi saja. (Dimensi kompetensi teknik dan dimensi keamanan)
Ya, saya kira begitu. Dokter mengatakan bahwa anak saya tidak sianosis. Apakah sianosis itu, keliatannya seperti penyakit yang berat. Jadi saya harus berterima kasih bahwa anak saya tidak menderita sianosis. (Dimensi akses dan dimensi hubungan antarmanusia)
Apakah dokter tidak mengukur suhu badannya? Anak saya Alimin tidak senang cara ini; seharusnya ada cara lain yang lebih baik untuk melakukannya. (Dimensi kompetensi teknik)
Tidak, bahkan dokter tidak meletakkan tangannya pada pergelangan tangan anak saya. Jika sudah banyak pasien seperti ini, dokter selalu memeriksa dengan terburu-buru. Mereka langsung memberi kita obat dan segera menyuruh kita pergi. (Dimensi kompetensi teknik dan indikasi perasaan ketidakpuasan)
Jika anak saya tidak juga sembuh besok, saya akan membawanya ke dokter swasta. Tidak ah! Saya akan kembali kemari lebih pagi dan mencoba menemui Dr. Sudiranto. (Dimensi efektivitas, kompetensi teknik, dimensi kesinambungan, dan indikasi ketidakpuasan)
Keluhan dokter, antara lain:
Mungkin sebagian besar kunjungan ulang; sehingga mereka dapat diperiksa dengan cepat. Memang perlu begini! Ada dua pasien pribadi yang harus saya periksa pada jam 03.00 sore, dan saya ingat saya berjanji untuk memeriksa seorang pasien pribai lain siang ini disini. (Dimensi efisiensi dan dimensi ketepatan waktu)
Perawat ini sengaja mengorbankan kamar periksa saya supaya dapat bekerja cepat. Perawat ini mengatur penggunaan ruangan seolah-olah puskesmas ini miliknya, menyusahkan dokter dan menganggap dokter sebagai setan lewat saja. (Dimensi efisiensi dan indikasi bahwa perawat seolah-olah tidak mendukung tugas dokter)
Memang hari ini hari Senin. Berapa lagi kasus pneumonia yang harus saya periksa hari ini?. (Dimensi efisiensi)
Wah, saya minta isteri Pak Camat untuk datang jam 13.30. Padahal masih ada 20 pasien lagi yang harus saya periksa disini. Bagaimana harus menyelesaikan ini?. (Dimensi efisiensi dan dimensi ketepatan waktu)
Sementara itu, keluhan perawat, yaitu:
Setiap hari Senin saya menghabiskan banya waktu seperti resepsionis hotel saja, untuk mencarikan tempat pemeriksaan bagi dokter agar dapat bekerja. (Dimensi efisiensi dan indikasi kebosanan terhadap pekerjaan rutin)
Interaksi dokter dengan perawat, antara lain:
Petugas kartu tidak tahu bahwa dokter akan datang terlambat, jadi sudah ada 11 pasien yang telah menunggu (Dimensi informasi, dimensi ketepatan waktu dan dimensi efisiensi)
Dokter Marwoto saat ini sedang memeriksa pasien dalam kamar periksa Anda, dokter. (Dimensi efisiensi)
Dokter, amoksisilin pada apotek puskesmas sudah habis. Asisten apoteker meminta dokter untuk menuliskan resep obat yang lain saja. (Dimensi informasi dan dimensi kesinambungan)
Apakah mereka menganjurkan obat yang lain (dimensi informasi dan dimensi hubungan antarmanusia)
Tentu saja tidak, dokter. Dokterlah yang bertanggung jawab untuk menentukan obat dan menulis resep (Dimensi informasi dan dimensi kompetensi teknik)
Oh, ya Bu Tuti apakah punya sudip lidah? Saya kira baterai otoskop ini sudah mati. Kasihan perawat ini, ia mencoba menyalahkan otoskop itu dan otoskop itu memang tidak dapat menyala. (Dimensi kompetensi teknik dan indikasi bahwa perawat tidak menyediakan segala sesuatu untuk keperluan diagnostik dalam kamar periksa dokter)
Interaksi dokter dengan pasien, antara lain:
Hari Sabtu saya pikir ia akan membaik ketika ia mulai mau makan sedikit, tapi kemudian ........ “ Percakapan pasien tiba-tiba diputus oleh dokter. (Dimensi hubungan antarmanusia)
“Buka bajunya, Bu. Umurnya 6 bulan bukan?” Ada sedikit tarikan dinding dada kedalam? Tidak begitu jelas. Apakah ada demam? (Dimensi akses dan dimensi hubungan antar manusia) Dokter menggunakan bahasa atau istilah yang tidak dimengerti oleh pasien.
Seperti yang saya katakan, ia batuk dan menangis sepanjang malam dan demam. Saya buka selimutnya agar dia terasa lebih dingin dan kembali menyelimutinya lagi jika sudah dingin. (Dimensi hubungan antar manusia.) Dokter kurang mau mendengar keluhan pasien, ibu sudah mengatakan anaknya demam, tetapi dokter masih menanyakan apakah anaknya demam atau tidak.
Apakah ibu melihat adanya tarikan dinding dadanya kedalam? (Dimensi akses dan dimensi hubungan antar manusia). Dokter menanyakan sesuatu dengan bahasa atau istilah yang pasti tidak dimengerti oleh pasien.
Tidak dokter. Dalam benak ibu istilah kedokteran apa ini? (Dimensi akses dan dimensi hubungan antarmanusia).
Pernapasannya cepat, tetapi nadinya masih dibawah 100. Saya tidak mendengar ronki maupun melihat adanya sianosis sehingga saya tidak merujuknya ke rumah sakit. (Dimensi akses dan dimensi hubungan antar manusia).
Bu, tolong pakaikan baju anak ibu di ruang tunggu, supaya saya dapat memeriksa pasien berikutnya. (Dimensi hubungan antarmanusia serta memberikan indikasi dokter yang sedang tergesa-gesa).
Interaksi pasien dengan apotek, antara lain:
Kami tidak punya amoksisilin saat ini, Bu. Tadi seharusnya dokter menulis resep obat yang lain, seperti penisilin. (Dimensi informasi dan dimensi kesinambungan).
Tidak perlu, di dekat puskesmas ini ada apotek yang dapat menyediakan obat ini. (Dimensi informasi dan dimensi kesinambungan)
Kemudian semua keluhan dikumpulkan berdasarkan dimensi mutu layanan kesehatan seperti dalam Tabel 22.1, Tabel 22.2, dan Tabel 22.3. Dari tabel tersebut terlihat dengan jelas masalah mutu layanan kesehatan dalam puskesmas dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang pasien dan sudut pandang dokter.
Studi kasus diatas mencoba menggambarkan bagaimana pengalaman dua orang ibu yang membawa anaknya yang sedang sakit berobat pada salah satu puskesmas di Jakarta, yaitu di Puskesmas Pulogadung. Dari hasil percakapan mereka dapat disimpulkan bahwa mutu layanan kesehatan puskesmas masih belum sesuai dengan apa yang menjadi harapan kedua ibu tersebut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perbedaan persepsi tentang mutu layanan kesehatan akan selalu ada. Perbedaan persepsi mutu layanan kesehatan tersebut dapat dibuktikan dengan jelas dalam studi kasus ini. Pasien menjabarkan mutu layanan kesehatan menurut persepsinya sendiri, demikian pula dokter mempersepsikan mutu layanan kesehatan menurut kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, studi kasus harus dibahas dari dua sudut pandang, sudut pandang pasien dan sudut pandang dokter. Lihat kembali pengelompokan keluhan pasien dan dokter yang terdapat dalam Tabel 22.1, Tabel 22.2, dan Tabel 22.3.
Perhatikan persepsi pasien tentang “sembuh” ketika pasien ingin sembuh keesokan harinya. Sebenarnya persepsi ini masih dapat diperbaiki jika dokter memberikan cukup informasi bagaimana jalannya penyakit, tetapi karena dokter tergesa-gesa, tidak tersedia cukup waktu untuk menjelaskan informasi tersebut. Terjalinnya hubungan yang baik dan saling menghargai antara dokter dan pasien pasti dapat membangun kepercayaan pasien dan kepercayaan itu dapat pula menimbulkan kesamaan persepsi.
Dokter merasa kekurangan waktu, dokter tidak mampu membuat pilihan, mana yang akan didahulukan, pasien puskesmas atau pasien pribadi? Akibatnya pasien puskesmas yang  dirugikan karena pemeriksaan pasien puskesmas yang penuh dilakukan dengan tergesa-gesa. Agar dapat menepati perjanjian dengan pasien pribadi; dokter mendapat honorarium untuk menambah pendapatan pribadi. Pasien selalu berada pada pihak yang lemah, terpaksa menerima situasi yang demikian (antri lama) sementara dokter ternyata melakukan pemeriksaan yang tidak cermat karena tergesa-gesa.
Berikut sudut pandang pasien:
Sudah lama mengantri, ternyata anaknya hanya diperiksa dengan tergesa-gesa, tidak cermat, tidak teliti, dan tidak menyeluruh.
Untuk menjumpai dokter yang sama, kesinambungan layanan kesehatan sulit sekali.
Tidak mendapat penyuluhan kesehatan dan informasi yang tidak diperlukan.
Obat yang diperlukan untuk pengobatan anaknya tidak tersedia pada apotek puskesmas, harus dibeli pada apotek swasta.
Puskesmas tidak mampu memecahkan masalah kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien karena harus membeli obat di apotek swasta.
Adapun sudut pandang dokter, antara lain:
Dokter tidak langsung dapat bekerja karena kamar periksa digunakan dokter lain.
Di kamar periksa dokter tidak tersedia alat diagnostik, walaupun tersedia , ternyata alat diagnostik itu tidak dapat berfungsi.
Obat yang diperlukan untuk pengobatan pasien ternyata habis.
Waktunya terdesak anara dua kepentingan, antara pemeriksaan pasien puskesmas dengan pemeriksaan pasien pribadi.
Dokter merasa kurang mendapat dukungan dari perawat.

Seandainya anda adalah kepala puskesmas, upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu layanan kesehatan puskesmas tanpa melakukan penambahan sumber daya? Kepala puskesmas harus mengatur agar pada hari senin pasien tidak berdesakan dan setiap dokter harus dapat melakukan tugasnya dalam kamar periksa masing-masing. Berikut tindakan yang dapat dilakukan :
Atur kembali jadwal kerja dokter yang bertugas agar setiap dokter dapat mempunyai kamar periksa masing-masing.
Atur jadwal layanan sehingga pasien tidak berdesakan pada hari Senin, misalnya dokter spesialis penyakit dalam datang pada hari Selasa dan Kamis; dokter spesialis kesehatan jiwa pada hari Rabu; KIA, KB, dan imunisasi pada hari Rabu dan Sabtu; dokter gigi pada hari Selasa dan Kamis sore, dan lain-lain.
Hari Senin khusus untuk pasien kunjungan ulang.
Pasien gawat darurat akan dilayani setiap hari dan dengan pengaturan yang demikian,  setiap dokter dapat bekerja dalam kamar periksa masing-masing dan pasien pun tidak akan berdesakan pada hari Senin.
Menurut hemat saya, masalah mutu layanan kesehatan yang dihadapi puskesmas ini hanya persoalan perilaku pengaturan. Dari percakapan kedua ibu tersebut dapat ditangkap adanya ketidakpuasan mereka terhadap berbagai dimensi mutu layanan kesehatan yang mereka lihat ataupun rasakan sewaktu berkunjung ke puskesmas.
Demikian pula, dokter mengeluh terhadap berbagai dimensi mutu layanan kesehatan walau dari sudut pandang yang berbeda dengan sudut pandang pasien. Mutu layanan kesehatan pada puskesmas ini belum sesuai dengan harapan pasien. Pasien masih merasa kecewa. Dengan demikian, mutu layanan kesehatan puskesmas harus segera ditingkatkan.
Mengapa mutu layanan kesehatan puskesmas harus segera ditingkatkan? Tentu saja karena semua dimensi mutu layanan kesehatan puskesmas masih dikeluhkan baik oleh pasien, dokter, ataupun perawat. Agar studi kasus ini dapat menjadi bahan ajar yang bermanfaat tentang berbagai dimensi mutu layanan kesehatan, berbagai interaksi yang telah terjadi antara dokter dengan pasien, dokter dengan perawat, petugas puskesmas dengan pasien, serta interaksi antar pasien telah dijelaskan. Selain itu, studi kasus ini juga dianalisis dari dua sudut pandang, sudut pandang pasien dan dokter.
Studi kasus ini juga mencoba memberi gambaran bagaimana pengaruh kebijaksanaan pemerintah Daerah Khusus Ibukota  yang mengizinkan dokter puskesmas memeriksa pasien pribadi dalam waktu kerja dan kebijaksanaan tersebut telah mengubah perilaku dokter! Dalam studi kasus terdapat hampir semua dimensi mutu layanan kesehatan yang sesuai teori jaminan mutu layanan kesehatan. Di sini jelas terlihat perbedaan persepsi mutu layanan kesehatan dari sudut pandang pasien ataupun dokter. Disini digambarkan bahwa ibu yang  datang membawa anaknya untuk berobat ke puskesmas merasa kecewa karena layanan kesehatan yang diberikan oleh dokter tidak sesuai dengan harapan mereka.

Adapun harapan pasien, antara lain:
Dokter datang tepat waktu sehingga antrian pasien tidak panjang.
Anamnesis dan pemeriksaan pasien lebih teliti, cermat, lengkap, dan tidak tergesa-gesa.
Pemeriksaan lebih cermat agar diagnosis lebih tepat sehingga pasien tidak perlu datang berobat berulang-ulang.
Pemberian informasi lengkap mengenai nama penyakit, bagaimana merawat anak di rumah dan tanda-tanda bahaya agar ibu tahu kapan harus membawa anaknya segera kembali ke Puskesmas.
Petugas puskesmas menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh ibu agar komunikasi dapat efektif.
Pasien berharap adanya kesinambungan layanan kesehatan oleh dokter/petugas puskesmas yang sama.






www.medkes.net www.fkmunsrat.ac id

Komentar

Postingan Populer