Pembiayaan Pembangunan Kesehatan di Indonesia Serta SKN Tentang Pembiayaan Kesehatan
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
adalah salah satu negara dari sedikit negara-negara di dunia, yang belum
memiliki sistem pembiayaan yang mantap. Padahal kita telah merdeka lebih dari
50 tahun. Banyak negara yang lebih muda, yang merdeka setelah Indonesia, justru
telah memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang lebih mantap, yang menjadi
“model” dan berlaku secara nasional. Dampaknya, jelas terkait dengan kemampuan
menyediakan dana kesehatan bagi seluruh rakyat. Ini terlepas, status kesehatan
rakyat tidak semata-mata tergantung besarnya biaya yang dikeluarkan.
Pembiayaan
kesehatan sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, terhadap beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang
mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan
yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat
efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa
alasan. Berbagai hal biasa dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya
kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sektor
prioritas, juga karena kesehatan sebagai sektor prioritas, juga karena
kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang
sedang mengalami transisi demokrasi ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1) Bagaimana
perkembangan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia?
2) Apa
definisi dari sistem pembiayaan kesehatan?
3) Apa
saja model sistem pembiayaan kesehatan?
1.3 Tujuan
1) Untuk
mengetahui perkembangan sistem pembiayaan di Indonesia
2) Untuk
mengertahui sistem pembiayaan kesehatan
3) Untuk
mengetahui model sistem pembiayaan kesehatan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan Sistem Pembiayaan di Indonesia
Masa Penjajahan ( Colonial Period )
Sejarah
kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada
abad ke-19. Pada tahun 1807 dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles
pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu
pernah dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan dengan tujuan
penurunan angka kematian bayi yang sangat tinggi pada masa tersebut. Upaya
tersebut tidak berlangsung lama karena terbatasnya dana dalam penyediaan tenaga
pelatih kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali dengan mendata
semua dukun bayi yang ada di Indonesia untuk diberikan pelatihan pertolongan
persalinan. Pada masa penjajahan juga yiatu tahun 1851 didirikan Sekolah Dokter
Java (sekarang menjadi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ) di Jakarta
yang dikepalai oleh orang Belanda yang kemudian terkenal dengan nama STOVIA (
School Tot Opleding Van Indische Arsten ) untuk pendidikan dokter pribumi. Pada
tahun 1913 juga didirikan sekolah dokter di Surabaya dengan nama NIAS ( Nederland Indische Arsten School ). Kedua
sekolah doker tersebut mempunyai peranan besar dalam pengembangan kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Pada
masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan berbagai fasilitas
kesehatan diberbagai daerah di Indonesia seperti Laboratorium Eykman di Bandung
tahun 1888 yang juga berdiri di Medan, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Saat
wabah penyakit Pes masuk ke Indonesia pada tahun 1922 dan menjadi epidemik
tahun 1933-1935 terutama di pulau Jawa, pemerintah Hindia Belanda melakukan
penanggulangan dengan melakukan penyemprotan dengan DDT terhadap semua rumah
penduduk dan vaksinasi masal. Begitupun saat terjadi wabah penyakit Kolera pada
tahun 1927 dan 1937.
Dari
berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa penjajahan,
pembiayaan kesehatan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu bersumber dari
pajak dan hasil bumi yang dihasilkan dari bumi Indonesia. Kebijakan pembiayaan
kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintah Hindia
Belanda, warga Indonesia yang sedang terjajah tidak bisa ikut berpartisipasi
dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat pribumi terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda juga dibatasi. Warga pribumi
hanya berperan sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat
menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan
jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. Pemerintah
Hindia Belanda hanya mementingkan pelayanan kesehatan bagi para pegawai
pemerintah Hindia Belanda, Militer belanda dan pegawai perusahaan milik
pemerintah pada masa itu.[1]
Pembiayaan Kesehatan Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Sejarah
yang mencatat kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 menaruh harapan
besar bagi segenap warga negara Indonesia dalam semua aspek kehidupan untuk
menjadi lebih baik. Salah satu aspek yang menjadi harapan adalah bidang
kesehatan. Perbaikan di sektor kesehatan terutama dititik beratkan pada upaya
pemerataan pelayanan kesehatan yang bisa menjangkau seluruh masyarakat
diwilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang notabene merupakan negara
kepulauan yang sangat luas wilayahnya.
Pembiayaan kesehatan negara Indonesia pada masa tersebut sepenuhnya
berada dalam domain pemerintah Republik Indonesia yang dialokasikan melalui
anggaran negara. Keterbatasan anggaran belanja negara yang juga masih
membutuhkan dana terutama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan membuat
aspek kesehatan belum menjadi prioritas utama pemerintahan pada masa itu dalam
pembangunan.
Salah
satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa kemerdekaan adalah konsep
Bandung ( Bandung Plan ) pada tahun 1951
oleh dr. J. Leimena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa
dipisahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam upaya pengembangan
kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagai pengembangan kesehatan
masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini memadukan antara pelayanan medis
dengan pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan.
Kondisi
ekonomi dan keuangan pada periode awal kemerdekaan amat buruk. Kondisi ini
membuat pemerintahan pada masa tersebut mengambil kebijakan yang kurang
menitikberatkan pada sektor kesehatan. Pemerintahan pada masa awal kemerdekaan
dan orde lama pembangunannya lebih dititik beratkan pada peningkatan ekonomi,
pemerintah belum memiliki kebijakan kesehatan nasional yang jelas. Pada masa itu pemerintah sempat
menjalankan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tetapi belum
berhasil dengan baik karena pelayanan yang kurang merata dan belum mampu
menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, selain itu juga dikembangkan model
sistem asuransi kesehatan tetapi masih terbatas pada kalangan pejabat
pemerintahan saja.
Banyaknya
kegagalan dalam berbagai kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa ini juga
diperparah karena pemerintah tidak mampu melakukan penghematan dalam belanja
negara, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah. Pengaruh
politik sangat kentara sekali karena pada masa ini pemerintah Indonesia
terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat. Hal ini merupakan
imbas dari sistem demokrasi terpimpin yang digunakan oleh pemerintahan Presiden
Soekarno yang lebih berkiblat kearah sosialis baik dalam bidang politik, sosial
dan ekonomi.
Dari
berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa kemerdekaan
dan orde lama, pembiayaan kesehatan pemerintah pada waktu itu bersumber hampir
seluruhnya dari anggaran pemerintah. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat
sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soekarno. Warga
Indonesia sudah mulai dilibatkan dan
ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai dibuka. Pada masa
ini Pemerintah orde lama belum mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis
kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki
status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Orde Baru
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Nomor 5
tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah menganut tiga asas yaitu:
a. Asas
Sentralisasi
Asas
Sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan dipusatkan di
pemerintah pusat.
b. Asas
Desentralisasi
Asas
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
c. Asas
Dekonsentrasi
Asas Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerinahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertical
wilayah tertentu.
Pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, kebijakan pemerintah lebih menitikberatkan
pada stabilitas nasional yang sangat besar sekali pengaruh politiknya. Soeharto
beranggapan bahwa suatu negara harus mencapai stabilitas nasional terlebih
dahulu sebelum mencapai stabilitas dibidang lainnya. Pembangunan nasional terus
dilakukan untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berbagi
kebijakan seperti penciptaan lapangan keja baru. Pendapatan perkapita penduduk
juga meningkat jika dibandingkan dengan periode pemerintahan orde lama.
Pemerintahan
orde baru menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan signifikan
sepanjang 32 tahun masa kepemerintahan, pemerintah jarang sekali melakukan
perubahan arah kebijakan pembangunan karena telah dituangkan dalam Garis-garis
besar haluan negara sehingga setiap perencanaan pembangunan harus mengarah pada
GBHN yang telah ditetapkan pemerintah. Pemerintah sukses mengeluarkan jargon
kebijakan ekonomi yang disebut trilogi pembangunan yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pemerataan pembangunan. Terlihat jelas
sekali keberhasilan pemerintahan dalam menjaga stabilitas perekonomian negara
karena ditunjang oleh stabilitas politik yang sangat baik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada masa orde baru selalu disusun berdasarkan asumsi perhitungan dasar yaitu
laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah dan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Format APBN hanya dibedakan menjadi dua
jenis catatan yaitu penerimaan dan pengeluaran, juga diberlakukan prinsip
berimbang denga artian bahwa pengeluaran negara disesuaikan dengan pemasukan
yang diterima.
Saat
kekuasaan pemerintahan beralih pada tahun 1967 dari Pemerintahan Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto, kebijakan dan arah pembangunan Indonesia juga
turut mengalami perubahan yang signifikan. Pada bulan Nopember 1967, dilakukan
seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu
sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. dr. Achmad
Dipodilogo yang mengacu pada konsep
Bandung (Bandung Plan) mengajukan konsep pusat kesehatan masyarakat. Hasil
seminar pada waktu itu menyepakati konsep puskesmas tipe A, B dan C. Departemen
Kesehatan pada waktu itu menyiapkan
rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Pada tahun 1968 dilaksanakan Rapat Kerja
Kesehatan Nasional yang menghasilkan keputusan bahwa puskesmas merupakan sistem
pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan menjadi pusat pelayanan
kesehatan masyarakat. Puskesmas disepakati sebagai unit pelayanan kesehatan
yang memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dn
mudah dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di
kotamadya atau kabupaten (Notoatmodjo:2005). Pada tahun 1984 tanggung jawab
puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di daerah mulai
ditingkatkan lagi dengan dikembangnya konsep Posyandu (Pos Pelayanan Tepadu)
yang memberikan pelayanan kesehatan ditingkat desa dengan menitikberatkan pada
pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, penanggulangan
diare dan imunisasi. Pelayanan di posyandu juga merupakan momentum baru dalam
melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan dengan adanya kader
kesehatan yang berasal dari masyarakat dalam pelayanan posyandu di tiap desa.
Pembiayaan
kesehatan pada masa orde baru juga mengalami perubahan dimana kondisi
perekonomian negara yang mulai meningkat, sektor privat atau swasta juga
mengalami perkembangan pesat termasuk didalamnya pengelolaan rumah sakit.
Pemerintah pada masa itu juga belum mampu menetapkan regulasi yang mengatur
tentang pasar dibidang kesehatan.
Pembiayaan kesehatan negara hampir sepenuhnya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), perencanaan pembangunan dibidang
kesehatan ditetapkan melalui rencana pembangunan lima tahunan atau yang lebih
dikenal dengan sebutan REPELITA mulai dali REPELITA I sampai REPELITA VI yang
juga berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru ke
orde reformasi pada tahun 1998.
Dari
berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru
Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam bidang ekonomi yang juga
memberikan dampak positif terhadap
pembiayaan sektor kesehatan. Lahirnya konsep puskesmas dan posyandu yang
bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat juga terjadi pada masa ini. Pembiayaan kesehatan
pada masa ini tidak lagi sepenuhnya
bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga mulai dilakukan oleh sektor
swasta yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang
didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan
masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden
Soeharto. Warga masyarakat sudah mulai
dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam
pelayanan kesehatan seperti sebagai kader kesehatan dalam program posyandu, akses
masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah
mulai merata. Pada masa ini pemerintah orde baru sudah mulai mampu menjamin
pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa
setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Reformasi
Beralihnya
kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie dimulai era reformasi.
Banyak perubahan besar terjadi pada masa ini seperti dalam hal ketatanegaraan
dan juga kebijakan ekonomi.
Dalam
bidang pembiayaan kesehatan, kebijakan yang diambil adalah program kompensasi
pengurangan subsidi bahan bakar minyak - jaring pengaman sosial bidang
kesehatan (PKPS BBM – JPS BK) yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tujuan
memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu disemua
fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Program ini dilakukan untuk
meminimalisir dampak yang dirasakan oleh masyarakat kecil dan tidak mampu
terutama dalam bidang kesehatan terhadap dampak krisis ekonomi.
Berlakunya
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu kompensasi
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan aspirasi warga negara
diberbagai wilayah di Indonesia. Pengaruh politik terlihat kentara sekali dalam
lahirnya UU Otonomi daerah, kebijakan pembangunan yang semula
tersentralisasi di pemerintahan pusat,
sejak diberlakukannya UU tentang otonomi daerah menjadi di desentralisasikan ke
pemerintah daerah untuk mengambil alih kebijakan pembangunan didaerahnya
masing-masing. Bidang kesehatan termasuk urusan yang penyelenggaraannya
diserahkan pada pemerintah daerah, hal ini setidaknya menimbulkan berbagi
masalah seperti ketimpangan pembangunan antara daerah yang kaya dengan daerah
yang miskin. Daerah yang kaya dengan sumber daya alam tentu saja dapat
mengalokasikan lebih banyak anggaran belanja daerahnya dalam bidang kesehatan,
hal itu tentunya tidak bisa dilakukan oleh daerah yang memiliki sumber daya
alam yang terbatas.
Pembiayaan
kesehatan pada masa ini juga mengalami
masalah sebagai imbas terjadinya krisis ekonomi. Anggaran pemerintah disektor
kesehatan pada periode awal reformasi juga menurun. Peran sektor swasta juiga
meningkat pada masa ini yang ditandai dengan
terus bertambahnya jumlah sakit swasta yang didirikan di berbagai
wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah lebih dititik
beratkan pada program untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang langsung
dirasakan oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah program JPS-BK. Bidang kesehatan sejak masa ini tidak lagi
sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat tetapi diserahkan pada
pemerintah daerah, pemerintah pusat lebih banyak mengambil peran sebagi
regulator dalam bidang kesehatan . Akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini
pemerintah sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis
kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki
status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia Masa Sekarang
Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dimulai sejak tahun 2004 mengambil kebijakan yang cenderung
controversial dan imbasnya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kebijakan
Pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM melonjak drastis menyebabkan
masyarakat mengalami dampak yang cukup signifikan. Kenaikan harga BBM cenderung
selalu diikuti dengan kenaikan harga berbagai komponen bahan pokok dan kenaikan
jasa termasuk didalamnya jasa pelayanan kesehatan terutama sektor swasta.
Pemerintahan pada masa itu mengalihkan anggaran subsidi BBM ke sektor yang
lebih penting yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan bidang lainnya yang ikut
mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kebijakan lainnya yang diambil
pemerintah pada masa ini adalah pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi
masyarakat miskin. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena tujuan
pengurangan dampak kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin tidak tercapai
karena banyak BLT yang diterima oleh warga yang tidak berhak.
Departemen
Kesehatan pada masa ini yaitu tahun 2006 mengeluarkan konsep pembangunan
kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat
2010. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai visi tersebut
dengan mensosialisasikan hingga ketingkat daerah. Kebijakan desentaralisasi
yang direvisi kembali melalui UU Nomr 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
sedikit menghambat berjalannya kebijakan Indonesia Sehat 2010. Konsepsi visi
Indonesia Sehat 2010 pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigm yang secara nyata cukup
bertentangan dengan prinsip desentarlisasi yang di atur dalam UU pemerintahan
daerah dimana kewenangan daerah otonom dalam penentuan arah dan model
pembangunan di wilayahnya masing-masing tanpa hatus terikat dengan kebijakan
pemerintah pusat.
Kebijakan
desentralisasi pada beberapa hal ikut menggerus pola lama pembangunan termasuk
didalamnya pembangunan bidan kesehatan. Kekuasaan otonom pemerintah daerah
dalam penentuan kebijakan pembangunannya membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat
2010 menjadi tidak terlalu bermakna. Pada kenyataannya masih banyak
daerah-daerah di Indonesia yang pembangunan di bidang kesehatannya sangat jauh
dari kualitas baik, pada saat yang sama kecenderungan epidemiologi penyakit
tidak banyak mengalami perubahan dan diperparah lemahnya infrastruktur promotif
dan preventif bidang kesehatan. Pemerintah
pusat akhirnya membuat kebijakan berupa penerbitan dokumen panduan
pembangunan kesehatan yang kemudian dikenal sebagai Sistem Kesehatan Nasional
yang terdiri dari; upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia
kesehatan, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat
dan manajemen kesehatan. Komponen pembiayaan kesehatan merupakan salah satu
komponen terpenting dalam sistem kesehatan nasional.
Beberapa
kebijakan dalam pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain
pada tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem
jaminan sosial nasional (UU SJSN) dengan tujuan memberikan jaminan nasional
yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia. Tahun 2005 pemerintah
melalui Departemen Kesehatan meluncurkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Miskin (JPKMM) yang disempurnakan bentuk dan operasionalnya pada
tahun 2008 menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tahun 2010
pemerintah kembali memperkenalkan
program baru yaitu Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dananya disalurkan
ke seluruh puskesmas yang ada di Indonesia. Pengaruh lembaga Internasional
seperti PBB yang Indonesia menjadi anggotanya dengan konsep Millenium
Development Goals (MDGs) menekankan beberapa target pembangunan berkelanjutan
yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia.
Salah satu komponen dalam MDGs adalah bidang kesehatan yaitu target penurunan
Angka Kematian Ibu melahirkan atau AKI pada tahun 2015 yang harus menurun
hingga 102 / 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 /
1000 kelahiran hidup. Untuk mempercepat pencapaian target tersebut pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan meluncurkan program baru yang dilaksanakan sejak
bulan Januari 2011 yaitu program Jaminan Persalinan (Jampersal) dengan tujuan
menjamin seluruh pembiayaan persalinan seluruh warga negara.
Dari
berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa sekarang
pembiayaan sektor kesehatan mulai menjadi prioritas pembangunan. Pembiayaan
kesehatan pada masa ini tidak lagi
sepenuhnya bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga dilakukan oleh sektor
swasta yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang
didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan
masyarakat tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan pusat,
seiringnya berjalannya sistem otonomi daerah, setiap daerah otonom berhak
menentukan perencanaan sendiri pembangunan kesehatan di daerahnya. Partisipasi masyarakat terus meningkat dalam
upaya kesehata yang bersumber masyarakat (UKBM) seperti posyandu dan kader
kesehatan. Akses masyarakat terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata seiring
dengan bertambahnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang mulai menjangkau
daerah pedesaan di Indonesia.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia di Masa Mendatang
Lahirnya
UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan harapan
baru bagi sistem pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang. Dalam
UU tersebut terdapat empat Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu ; (1) PT. Askes, yang diperuntukan bagi
semua PNS, penerima pension, perintis kemerdekaan, veteran dan anggota
keluarganya dengan jumlah peserta tahun 2010 mencapai 3,7 juta PNS (belum
termasuk anggota keluarga yang ikut ditanggung biaya kesehatannya yaitu 1 orang
isteri/suami dan 2 orang anak); (2) PT. Jamsostek, yang diperuntukkan bagi
semua pekerja sektor BUMN dan swasta yang telah bekerjasama dengan Jamsostek;
(3) PT. Asabri, yang diperuntukkan bagi anggota TNI dan POLRI; (4) PT. Taspen,
yaitu dana tabungan pegawai negeri sipil (Kementerian Kesehatan RI; 2011). UU
SJSN No. 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
setiap warga negara berhak atas jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan
dasar hidup yg layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Ini merupakan cikal bakal
terbentuknya Sistem Jaminan Sosial
Nasional Bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada
tanggal 28 Oktober 2011, DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-undang tentang Badan
Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) yang di bagi menjadi; (1) UU BPJS 1 yang
diasumsikan akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 dengan tujuan
penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia,
termasuk menampung pengalihan program Jamkesmas, Askes, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan PT. Jamsostek dan PT. Asabri; (2) UU BPJS 2 yang diasumsikan mulai
beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 atau selambat-lambatnya 1 Juli 2015
dengan tujuan pengelolaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan
hari tua dan jaminan pension yang merupakan transformasi dari PT. Jamsostek.
Dari
berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah diatas, kebijakan pembiayaan
kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang bertujuan untuk menjamin kesehatan
semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Hal itu diaspirasi melalui
disahkannya UU tentang sistem jaminan sosial nasional yang pada hakekatnya
bertujuan agar semua warga negara dijamin oleh suatu sistem nasional yang
dikelola oleh negara, jaminan yang diberikan tidak hanya sebatas jaminan
kesehatan, tetapi juga jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian. Pemerintah
bersama DPR baru saja mengesahkan UU tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial
(BPJS) yag mengatur tentang Badan Publik yang akan melaksanakan sistem jaminan
sosial nasional sperti yang telah dimanatkan dalam UU No. 40 Tahun 2004. Dengan
disahkannya UU BPJS, jalan panjang rakyat Indonesia untuk bisa menikmati
jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya dari negara masih sangat panjang
karena penerapan UU BPJS baru akan diberlakukan pada awal tahun 2014.
2.2 Definisi
Sistem Pembiayaan Kesehatan
Biaya
Kesehatan ialah besarnya dana yang harus di sediakan untuk menyelenggarakan dan
atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat. Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan
sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya alokasi dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat
mengenai Pembiayaan Kesehatan diatas, terlihat bahwa biaya kesehatan dapat
ditinjau dari beberapa sudut, yaitu :
1. Penyedia
Pelayanan Kesehatan
Yang
dimakasud biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (Health Provider)
adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Dengan pengertian yang seperti
ini tampak bahwa kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah
persoalan utama pemerintah dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang
akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Pemakai
Jasa Pelayanan
Yang
dimaksud biaya kesehatan dari sudut pemakai jalan pelayanan (Health Consumer)
adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya
kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam
batas-batas tertentu, pemerintah juga turut
mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Dari
batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa pengertian biaya
kesehatan tidaklah sama antara penyedia
pelayanan kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health
consumer).
Bagi
penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada
dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa pelayanan
kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya
perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa besarnya
dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai jasa
pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia
pelayanan lebih menunjuk pada seluruh
biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational
cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan
besarnnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang
harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya
kesehatan.
Secara
umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai jasa
pelayanan, dan karena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayanan kesehatan
(income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan
kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut
mengalami keuntungan (profit).
Tetapi
apabila sebaliknya, maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut
mengalami kerugian (loss). Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat
tergantung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak tersebut.
Hanya saja, karena pada umumnya pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama
yang diselenggrakan oleh pihak swasta tidak ingin mengalami kerugian, dan
karena itu setiap pengeluaran telah diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang
akan diselenggarakan, maka perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih
banyak didasarkan pada jumlah dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa
pelayanan kesehatan saja.
Di
samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka
dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi
karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka cara perhitungan yang dipergunakan tidaklah
sama. Total biaya kesehatan dari sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya
dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa, dan karena itu merupakan
pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses)
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Dari
uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya
kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama,
besarnya dana yang dikeluarkan oleh para
pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua, besarnya dana yang
dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk sektor pemerintah.
Total biaya kesehatan adalah hasil dari penjumlahan dari kedua pengeluaran
tersebut.
2.3 Model
sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
Model sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1) Fee
for Service (Out of Pocket)
Sistem
ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana pencari layanan kesehatan
berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter
atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang
diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat
ini masih bergantung pada sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for
Service ini. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem Fee for Service
dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009).
Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi
pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship, dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa
medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya
ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin
besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara
tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien
untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.
2)
Health Insurance
Sistem
ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health
insurance ini dapat berupa sistem kapitasi dan system Diagnose Related Group
(DRG system). Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan
kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk
pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan
sistem kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK
atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar
perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga
di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat). Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh
dengan system kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan
melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam
penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula
tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat
dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi
pemasukan bagi PPK.
Kelemahan
dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana
dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Dan
sistem ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan promotif kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem
kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan
dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang
selama ini berlaku. Hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia.
Tentu saja karena masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem
kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat
tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sampai
saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana
peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah
menjadi target anggota asuransi. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah
bagi sistem kesehatan Indonesia.
Memang
harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan
kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem
kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi
dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud sistem yang lebih
efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Contoh health insurance yang di berada dibawah
naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diantaranya :
1. Askes
2. Jamkesmas
3. ASBRI
4. Taspen
5. Jamsostek
6. Dan
lain sebagainya.
2.4 SKN dalam Pembiayaan Kesehatan
Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan
kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap
langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
1945.
Sistem
Kesehatan Nasional perlu dilaksanakan dalam konteks Pembangunan Kesehatan
secara keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti: kondisi
kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi
kewenangan, keamanan, sumber daya, kesadaran masyarakat, dan kemampuan tenaga
kesehatan mengatasi masalah tersebut.
Sistem
Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi
pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1.
Cakupan pelayanan kesehatan yang adil
dan merata.
2.
Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak
kepada rakyat.
3.
Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4.
Kepemimpinan. SKN juga disusun dengan
memperhatikan inovasi/terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan
secara luas, termasuk penguatan sistem rujukan.
Sistem
Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi
Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku,
antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN.
Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti
pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan
sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan
Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh
semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara
sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, hingga terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Landasan Sistem
Kesehatan Nasional meliputi:
1.
Landasan Idiil, yaitu Pancasila.
2.
Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945,
khususnya: Pasal 28 A, 28 H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1),
Landasan Operasional
meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan SKN dan pembangunan kesehatan.Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS,
dari 6 Sub-Sistem SKN yang ada pada Sistem Kesehatan Nasional (Ppres 72 tahun
2012) diantaranya:
1. upaya
Kesehatan
2. pembiayaan
kesehatan
3. sumber
dana manusia kesehatan
4. obat
dan perbekalan kesehatan,
5. pemberdayaan
masyarakat
6. manajemen
kesehatan.
Dari 6 sub-sistem SKN
tersebut didominasi oleh pembiayaan kesehatan dibandingkan dengan sub-sistem
lainnya, lima sub-sistem lainnya belum terlalu banyak dibahas atau tersentuh
atau mengalami perubahan. Tidak ada perubahan mendasar dalam sub sistem pembiayaan
dan tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada regulasi mutu pelayanan
kesehatan, contohnya, tidak ada national quaity framework, fasilitas kesehatan
berbondong-bondong untuk menaikkan kelas untuk meningkatkan tarif yang tidak
disertai peningkatan mutu. Selain itu tidak ada perubahan mendasar dalam
pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa Sistem pembiayaan di
Indonesia sebenarnya mengalami perubahan setiap Ordenya sesuai dengan
kepemimpinan atau yang menjabat sebagai presiden dan politik yang terjadi pada
era nya. Sistem Pembiayaan Kesehatan, didefinisikan sebagai suatu sistem yang
mengatur tentang besarnya alokasi dana
yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh
perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat mengenai Pembiayaan Kesehatan
diatas, terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut,
yaitu :
1. Penyedia
Pelayanan Kesehatan
2. Pemakai
Jasa Pelayanan
Untuk dapat menghitung
besarnya total biaya kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman
yang dipakai. Pertama, besarnya dana
yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua,
besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk
sektor pemerintah.
Model sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1. Fee
for Service ( Out of Pocket )
Sistem
pembiayaan pembayaran tunai.
2. Health
Insurance
Sistem
ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak asuransi.
3.2 Saran
Dari penulisan makalah diatas penulis dapat sarankan kepada pembaca
terutama bagi mahasiswa kesehatan untuk lebih bisa mempelajari dan memahami
pentingnya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia serta dapat menerapkan
dalam kehidupan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Arianto,Kurniawan.
PERUBAHAN POLA PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA SEJALAN DENGAN POLA POLITIK
YANG TERJADI. 2011.
2. Nursanto,Dodik.
Pengaruh sistem pembiayaan kesehatan terhadap persepsi kualitas pelayanan
pasien. 2009.
3. Dharmadi,
I Made. Partisipasi masyarakat pada pelayanan kesehatan terstruktur dan
paripurna. 2009
4. http://heningtirtakusumawardani.blogspot.co.id/2011/02/sistem-kesehatan-nasional-skn-indonesia.html
Komentar
Posting Komentar