Pembiayaan Pembangunan Kesehatan di Indonesia Serta SKN Tentang Pembiayaan Kesehatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara dari sedikit negara-negara di dunia, yang belum memiliki sistem pembiayaan yang mantap. Padahal kita telah merdeka lebih dari 50 tahun. Banyak negara yang lebih muda, yang merdeka setelah Indonesia, justru telah memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang lebih mantap, yang menjadi “model” dan berlaku secara nasional. Dampaknya, jelas terkait dengan kemampuan menyediakan dana kesehatan bagi seluruh rakyat. Ini terlepas, status kesehatan rakyat tidak semata-mata tergantung besarnya biaya yang dikeluarkan.
Pembiayaan kesehatan sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, terhadap beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada. Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal biasa dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sektor prioritas, juga karena kesehatan sebagai sektor prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
1.2  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana perkembangan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia?
2)      Apa definisi dari sistem pembiayaan kesehatan?
3)      Apa saja model sistem pembiayaan kesehatan?
1.3  Tujuan
1)      Untuk mengetahui perkembangan sistem pembiayaan di Indonesia
2)      Untuk mengertahui sistem pembiayaan kesehatan
3)      Untuk mengetahui model sistem pembiayaan kesehatan



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Perkembangan Sistem Pembiayaan di Indonesia
Masa Penjajahan ( Colonial Period )
Sejarah kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada tahun 1807 dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu pernah dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan dengan tujuan penurunan angka kematian bayi yang sangat tinggi pada masa tersebut. Upaya tersebut tidak berlangsung lama karena terbatasnya dana dalam penyediaan tenaga pelatih kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali dengan mendata semua dukun bayi yang ada di Indonesia untuk diberikan pelatihan pertolongan persalinan. Pada masa penjajahan juga yiatu tahun 1851 didirikan Sekolah Dokter Java (sekarang menjadi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ) di Jakarta yang dikepalai oleh orang Belanda yang kemudian terkenal dengan nama STOVIA ( School Tot Opleding Van Indische Arsten ) untuk pendidikan dokter pribumi. Pada tahun 1913 juga didirikan sekolah dokter di Surabaya dengan nama NIAS  ( Nederland Indische Arsten School ). Kedua sekolah doker tersebut mempunyai peranan besar dalam pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan berbagai fasilitas kesehatan diberbagai daerah di Indonesia seperti Laboratorium Eykman di Bandung tahun 1888 yang juga berdiri di Medan, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Saat wabah penyakit Pes masuk ke Indonesia pada tahun 1922 dan menjadi epidemik tahun 1933-1935 terutama di pulau Jawa, pemerintah Hindia Belanda melakukan penanggulangan dengan melakukan penyemprotan dengan DDT terhadap semua rumah penduduk dan vaksinasi masal. Begitupun saat terjadi wabah penyakit Kolera pada tahun 1927 dan 1937.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa penjajahan, pembiayaan kesehatan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu bersumber dari pajak dan hasil bumi yang dihasilkan dari bumi Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintah Hindia Belanda, warga Indonesia yang sedang terjajah tidak bisa ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat pribumi terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda juga dibatasi. Warga pribumi hanya berperan sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. Pemerintah Hindia Belanda hanya mementingkan pelayanan kesehatan bagi para pegawai pemerintah Hindia Belanda, Militer belanda dan pegawai perusahaan milik pemerintah pada masa itu.[1]
Pembiayaan Kesehatan Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Sejarah yang mencatat kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 menaruh harapan besar bagi segenap warga negara Indonesia dalam semua aspek kehidupan untuk menjadi lebih baik. Salah satu aspek yang menjadi harapan adalah bidang kesehatan. Perbaikan di sektor kesehatan terutama dititik beratkan pada upaya pemerataan pelayanan kesehatan yang bisa menjangkau seluruh masyarakat diwilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan yang sangat luas wilayahnya.  Pembiayaan kesehatan negara Indonesia pada masa tersebut sepenuhnya berada dalam domain pemerintah Republik Indonesia yang dialokasikan melalui anggaran negara. Keterbatasan anggaran belanja negara yang juga masih membutuhkan dana terutama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan membuat aspek kesehatan belum menjadi prioritas utama pemerintahan pada masa itu dalam pembangunan.
Salah satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa kemerdekaan adalah konsep Bandung ( Bandung Plan )  pada tahun 1951 oleh dr. J. Leimena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa dipisahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan  konsep baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagai pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini memadukan antara pelayanan medis dengan pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan.
Kondisi ekonomi dan keuangan pada periode awal kemerdekaan amat buruk. Kondisi ini membuat pemerintahan pada masa tersebut mengambil kebijakan yang kurang menitikberatkan pada sektor kesehatan. Pemerintahan pada masa awal kemerdekaan dan orde lama pembangunannya lebih dititik beratkan pada peningkatan ekonomi, pemerintah belum memiliki kebijakan kesehatan nasional  yang jelas. Pada masa itu pemerintah sempat menjalankan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tetapi belum berhasil dengan baik karena pelayanan yang kurang merata dan belum mampu menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, selain itu juga dikembangkan model sistem asuransi kesehatan tetapi masih terbatas pada kalangan pejabat pemerintahan saja.
Banyaknya kegagalan dalam berbagai kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa ini juga diperparah karena pemerintah tidak mampu melakukan penghematan dalam belanja negara, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah. Pengaruh politik sangat kentara sekali karena pada masa ini pemerintah Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat. Hal ini merupakan imbas dari sistem demokrasi terpimpin yang digunakan oleh pemerintahan Presiden Soekarno yang lebih berkiblat kearah sosialis baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa kemerdekaan dan orde lama, pembiayaan kesehatan pemerintah pada waktu itu bersumber hampir seluruhnya dari anggaran pemerintah. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soekarno. Warga Indonesia sudah mulai dilibatkan dan  ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai dibuka. Pada masa ini Pemerintah orde lama belum mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Orde Baru
      Berdasarkan Undang-Undang Dasar Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah menganut tiga asas yaitu:
a.       Asas Sentralisasi
Asas Sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
b.      Asas Desentralisasi
Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
c.       Asas Dekonsentrasi
Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang  pemerinahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertical wilayah tertentu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, kebijakan pemerintah lebih menitikberatkan pada stabilitas nasional yang sangat besar sekali pengaruh politiknya. Soeharto beranggapan bahwa suatu negara harus mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu sebelum mencapai stabilitas dibidang lainnya. Pembangunan nasional terus dilakukan untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berbagi kebijakan seperti penciptaan lapangan keja baru. Pendapatan perkapita penduduk juga meningkat jika dibandingkan dengan periode pemerintahan orde lama.
Pemerintahan orde baru menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan signifikan sepanjang 32 tahun masa kepemerintahan, pemerintah jarang sekali melakukan perubahan arah kebijakan pembangunan karena telah dituangkan dalam Garis-garis besar haluan negara sehingga setiap perencanaan pembangunan harus mengarah pada GBHN yang telah ditetapkan pemerintah. Pemerintah sukses mengeluarkan jargon kebijakan ekonomi yang disebut trilogi pembangunan yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pemerataan pembangunan. Terlihat jelas sekali keberhasilan pemerintahan dalam menjaga stabilitas perekonomian negara karena ditunjang oleh stabilitas politik yang sangat baik.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada masa orde baru selalu disusun berdasarkan asumsi perhitungan dasar yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Format APBN hanya dibedakan menjadi dua jenis catatan yaitu penerimaan dan pengeluaran, juga diberlakukan prinsip berimbang denga artian bahwa pengeluaran negara disesuaikan dengan pemasukan yang diterima.
Saat kekuasaan pemerintahan beralih pada tahun 1967 dari Pemerintahan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, kebijakan dan arah pembangunan Indonesia juga turut mengalami perubahan yang signifikan. Pada bulan Nopember 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. dr. Achmad Dipodilogo  yang mengacu pada konsep Bandung (Bandung Plan) mengajukan konsep pusat kesehatan masyarakat. Hasil seminar pada waktu itu menyepakati konsep puskesmas tipe A, B dan C. Departemen Kesehatan pada waktu itu  menyiapkan rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia.  Pada tahun 1968 dilaksanakan Rapat Kerja Kesehatan Nasional yang menghasilkan keputusan bahwa puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan menjadi pusat pelayanan kesehatan masyarakat. Puskesmas disepakati sebagai unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dn mudah dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di kotamadya atau kabupaten (Notoatmodjo:2005). Pada tahun 1984 tanggung jawab puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di daerah mulai ditingkatkan lagi dengan dikembangnya konsep Posyandu (Pos Pelayanan Tepadu) yang memberikan pelayanan kesehatan ditingkat desa dengan menitikberatkan pada pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, penanggulangan diare dan imunisasi. Pelayanan di posyandu juga merupakan momentum baru dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan dengan adanya kader kesehatan yang berasal dari masyarakat dalam pelayanan posyandu di tiap desa.
Pembiayaan kesehatan pada masa orde baru juga mengalami perubahan dimana kondisi perekonomian negara yang mulai meningkat, sektor privat atau swasta juga mengalami perkembangan pesat termasuk didalamnya pengelolaan rumah sakit. Pemerintah pada masa itu juga belum mampu menetapkan regulasi yang mengatur tentang pasar dibidang kesehatan.  Pembiayaan kesehatan negara hampir sepenuhnya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perencanaan pembangunan dibidang kesehatan ditetapkan melalui rencana pembangunan lima tahunan atau yang lebih dikenal dengan sebutan REPELITA mulai dali REPELITA I sampai REPELITA VI yang juga berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru ke orde reformasi pada tahun 1998.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam bidang ekonomi yang juga memberikan dampak positif terhadap  pembiayaan sektor kesehatan. Lahirnya konsep puskesmas dan posyandu yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat juga terjadi pada masa ini. Pembiayaan kesehatan pada masa ini  tidak lagi sepenuhnya bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga mulai dilakukan oleh sektor swasta yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soeharto. Warga masyarakat  sudah mulai dilibatkan dan  ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan seperti sebagai kader kesehatan dalam program posyandu, akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini pemerintah orde baru sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Reformasi
Beralihnya kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie dimulai era reformasi. Banyak perubahan besar terjadi pada masa ini seperti dalam hal ketatanegaraan dan juga kebijakan ekonomi.
Dalam bidang pembiayaan kesehatan, kebijakan yang diambil adalah program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak - jaring pengaman sosial bidang kesehatan (PKPS BBM – JPS BK) yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu disemua fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Program ini dilakukan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan oleh masyarakat kecil dan tidak mampu terutama dalam bidang kesehatan terhadap dampak krisis ekonomi.
Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu kompensasi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan aspirasi warga negara diberbagai wilayah di Indonesia. Pengaruh politik terlihat kentara sekali dalam lahirnya UU Otonomi daerah, kebijakan pembangunan yang semula tersentralisasi  di pemerintahan pusat, sejak diberlakukannya UU tentang otonomi daerah menjadi di desentralisasikan ke pemerintah daerah untuk mengambil alih kebijakan pembangunan didaerahnya masing-masing. Bidang kesehatan termasuk urusan yang penyelenggaraannya diserahkan pada pemerintah daerah, hal ini setidaknya menimbulkan berbagi masalah seperti ketimpangan pembangunan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Daerah yang kaya dengan sumber daya alam tentu saja dapat mengalokasikan lebih banyak anggaran belanja daerahnya dalam bidang kesehatan, hal itu tentunya tidak bisa dilakukan oleh daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbatas.
Pembiayaan kesehatan pada masa ini  juga mengalami masalah sebagai imbas terjadinya krisis ekonomi. Anggaran pemerintah disektor kesehatan pada periode awal reformasi juga menurun. Peran sektor swasta juiga meningkat pada masa ini yang ditandai dengan  terus bertambahnya jumlah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah lebih dititik beratkan pada program untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah program JPS-BK.  Bidang kesehatan sejak masa ini tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat tetapi diserahkan pada pemerintah daerah, pemerintah pusat lebih banyak mengambil peran sebagi regulator dalam bidang kesehatan . Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini pemerintah sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia Masa Sekarang
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dimulai sejak tahun 2004  mengambil kebijakan yang cenderung controversial dan imbasnya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kebijakan Pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM melonjak drastis menyebabkan masyarakat mengalami dampak yang cukup signifikan. Kenaikan harga BBM cenderung selalu diikuti dengan kenaikan harga berbagai komponen bahan pokok dan kenaikan jasa termasuk didalamnya jasa pelayanan kesehatan terutama sektor swasta. Pemerintahan pada masa itu mengalihkan anggaran subsidi BBM ke sektor yang lebih penting yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan bidang lainnya yang ikut mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kebijakan lainnya yang diambil pemerintah pada masa ini adalah pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena tujuan pengurangan dampak kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin tidak tercapai karena banyak BLT yang diterima oleh warga yang tidak berhak.
Departemen Kesehatan pada masa ini yaitu tahun 2006 mengeluarkan konsep pembangunan kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat 2010. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai visi tersebut dengan mensosialisasikan hingga ketingkat daerah. Kebijakan desentaralisasi yang direvisi kembali melalui UU Nomr 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sedikit menghambat berjalannya kebijakan Indonesia Sehat 2010. Konsepsi visi Indonesia Sehat 2010 pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigm yang secara nyata cukup bertentangan dengan prinsip desentarlisasi yang di atur dalam UU pemerintahan daerah dimana kewenangan daerah otonom dalam penentuan arah dan model pembangunan di wilayahnya masing-masing tanpa hatus terikat dengan kebijakan pemerintah pusat.
Kebijakan desentralisasi pada beberapa hal ikut menggerus pola lama pembangunan termasuk didalamnya pembangunan bidan kesehatan. Kekuasaan otonom pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan pembangunannya membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010 menjadi tidak terlalu bermakna. Pada kenyataannya masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang pembangunan di bidang kesehatannya sangat jauh dari kualitas baik, pada saat yang sama kecenderungan epidemiologi penyakit tidak banyak mengalami perubahan dan diperparah lemahnya infrastruktur promotif dan preventif bidang kesehatan. Pemerintah  pusat akhirnya membuat kebijakan berupa penerbitan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang kemudian dikenal sebagai Sistem Kesehatan Nasional yang terdiri dari; upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan. Komponen pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen terpenting dalam sistem kesehatan nasional.
Beberapa kebijakan dalam pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pada tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN) dengan tujuan memberikan jaminan nasional yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia. Tahun 2005 pemerintah melalui Departemen Kesehatan meluncurkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) yang disempurnakan bentuk dan operasionalnya pada tahun 2008 menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tahun 2010 pemerintah kembali  memperkenalkan program baru yaitu Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dananya disalurkan ke seluruh puskesmas yang ada di Indonesia. Pengaruh lembaga Internasional seperti PBB yang Indonesia menjadi anggotanya dengan konsep Millenium Development Goals (MDGs) menekankan beberapa target pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Salah satu komponen dalam MDGs adalah bidang kesehatan yaitu target penurunan Angka Kematian Ibu melahirkan atau AKI pada tahun 2015 yang harus menurun hingga 102 / 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 / 1000 kelahiran hidup. Untuk mempercepat pencapaian target tersebut pemerintah melalui Kementerian Kesehatan meluncurkan program baru yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 yaitu program Jaminan Persalinan (Jampersal) dengan tujuan menjamin seluruh pembiayaan persalinan seluruh warga negara.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa sekarang pembiayaan sektor kesehatan mulai menjadi prioritas pembangunan. Pembiayaan kesehatan pada masa ini  tidak lagi sepenuhnya bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga dilakukan oleh sektor swasta yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan pusat, seiringnya berjalannya sistem otonomi daerah, setiap daerah otonom berhak menentukan perencanaan sendiri pembangunan kesehatan di daerahnya.  Partisipasi masyarakat terus meningkat dalam upaya kesehata yang bersumber masyarakat (UKBM) seperti posyandu dan kader kesehatan.  Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata seiring dengan bertambahnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang mulai menjangkau daerah pedesaan di Indonesia.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia  di Masa Mendatang
Lahirnya UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan harapan baru bagi sistem pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang. Dalam UU tersebut terdapat  empat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu ; (1) PT. Askes, yang diperuntukan bagi semua PNS, penerima pension, perintis kemerdekaan, veteran dan anggota keluarganya dengan jumlah peserta tahun 2010 mencapai 3,7 juta PNS (belum termasuk anggota keluarga yang ikut ditanggung biaya kesehatannya yaitu 1 orang isteri/suami dan 2 orang anak); (2) PT. Jamsostek, yang diperuntukkan bagi semua pekerja sektor BUMN dan swasta yang telah bekerjasama dengan Jamsostek; (3) PT. Asabri, yang diperuntukkan bagi anggota TNI dan POLRI; (4) PT. Taspen, yaitu dana tabungan pegawai negeri sipil (Kementerian Kesehatan RI; 2011). UU SJSN No. 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa  setiap warga negara berhak atas jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup yg layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Ini merupakan cikal bakal terbentuknya  Sistem Jaminan Sosial Nasional Bagi  seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 2011, DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-undang tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) yang di bagi menjadi; (1) UU BPJS 1 yang diasumsikan akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 dengan tujuan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk menampung pengalihan program Jamkesmas, Askes, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PT. Jamsostek dan PT. Asabri; (2) UU BPJS 2 yang diasumsikan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 atau selambat-lambatnya 1 Juli 2015 dengan tujuan pengelolaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pension yang merupakan transformasi dari PT. Jamsostek.
Dari berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah diatas, kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang bertujuan untuk menjamin kesehatan semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Hal itu diaspirasi melalui disahkannya UU tentang sistem jaminan sosial nasional yang pada hakekatnya bertujuan agar semua warga negara dijamin oleh suatu sistem nasional yang dikelola oleh negara, jaminan yang diberikan tidak hanya sebatas jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.  Pemerintah bersama DPR baru saja mengesahkan UU tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) yag mengatur tentang Badan Publik yang akan melaksanakan sistem jaminan sosial nasional sperti yang telah dimanatkan dalam UU No. 40 Tahun 2004. Dengan disahkannya UU BPJS, jalan panjang rakyat Indonesia untuk bisa menikmati jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya dari negara masih sangat panjang karena penerapan UU BPJS baru akan diberlakukan pada awal tahun 2014.
2.2  Definisi Sistem Pembiayaan Kesehatan
Biaya Kesehatan ialah besarnya dana yang harus di sediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya  alokasi dana yang harus disediakan  untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya  kesehatan yang diperlukan  oleh  perorangan, keluarga, kelompok  dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat mengenai Pembiayaan Kesehatan diatas, terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu :
1.      Penyedia Pelayanan Kesehatan
Yang dimakasud biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (Health Provider) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Dengan pengertian yang seperti  ini tampak bahwa kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
2.      Pemakai Jasa Pelayanan
Yang dimaksud biaya kesehatan dari sudut pemakai jalan pelayanan (Health Consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk  dapat memanfaatkan jasa pelayanan.  Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam
 batas-batas tertentu, pemerintah juga turut mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa pengertian biaya kesehatan  tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer).
Bagi penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat  menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan lebih menunjuk pada  seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan.
Secara umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai jasa pelayanan, dan karena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayanan kesehatan (income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami keuntungan (profit).
Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss). Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak tersebut. Hanya saja, karena pada umumnya pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh pihak swasta tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran telah diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang akan diselenggarakan, maka perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja.
Di samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka  cara perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa, dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari besarnya dana  yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Dari uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama, besarnya  dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk sektor pemerintah. Total biaya kesehatan adalah hasil dari penjumlahan dari kedua pengeluaran tersebut.
2.3  Model sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
Model sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1)      Fee for Service (Out of Pocket)
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan  layanan, dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima. Sebagian  besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for Service  ini. Dari laporan World Health Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih bergantung  pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship,  dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang  ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2)      Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa sistem kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system). Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan sistem kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.
Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Dan sistem ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan promotif kesehatan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia. Tentu saja karena masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.
Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Contoh health insurance yang di berada dibawah naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diantaranya :
1.      Askes
2.       Jamkesmas
3.      ASBRI
4.      Taspen
5.      Jamsostek
6.      Dan lain sebagainya.
2.4 SKN dalam Pembiayaan Kesehatan
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
Sistem Kesehatan Nasional perlu dilaksanakan dalam konteks Pembangunan Kesehatan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti: kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber daya, kesadaran masyarakat, dan kemampuan tenaga kesehatan mengatasi masalah tersebut.
Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1.      Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata.
2.       Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat.
3.      Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4.      Kepemimpinan. SKN juga disusun dengan memperhatikan inovasi/terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk penguatan sistem rujukan.
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, hingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Landasan Sistem Kesehatan Nasional meliputi:
1.      Landasan Idiil, yaitu Pancasila.
2.      Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, 28 H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1),
Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan pembangunan kesehatan.Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, dari 6 Sub-Sistem SKN yang ada pada Sistem Kesehatan Nasional (Ppres 72 tahun 2012) diantaranya:
1.      upaya Kesehatan
2.      pembiayaan kesehatan
3.      sumber dana manusia kesehatan
4.      obat dan perbekalan kesehatan,
5.      pemberdayaan masyarakat
6.      manajemen kesehatan.
Dari 6 sub-sistem SKN tersebut didominasi oleh pembiayaan kesehatan dibandingkan dengan sub-sistem lainnya, lima sub-sistem lainnya belum terlalu banyak dibahas atau tersentuh atau mengalami perubahan. Tidak ada perubahan mendasar dalam sub sistem pembiayaan dan tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada regulasi mutu pelayanan kesehatan, contohnya, tidak ada national quaity framework, fasilitas kesehatan berbondong-bondong untuk menaikkan kelas untuk meningkatkan tarif yang tidak disertai peningkatan mutu. Selain itu tidak ada perubahan mendasar dalam pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan.











BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
           Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa Sistem pembiayaan di Indonesia sebenarnya mengalami perubahan setiap Ordenya sesuai dengan kepemimpinan atau yang menjabat sebagai presiden dan politik yang terjadi pada era nya. Sistem Pembiayaan Kesehatan, didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya  alokasi dana yang harus disediakan  untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya  kesehatan yang diperlukan  oleh  perorangan, keluarga, kelompok  dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat mengenai Pembiayaan Kesehatan diatas, terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu :
1.      Penyedia Pelayanan Kesehatan
2.      Pemakai Jasa Pelayanan                                                      
Untuk dapat menghitung besarnya total biaya kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama, besarnya  dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk sektor pemerintah.
Model sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1.      Fee for Service ( Out of Pocket )
Sistem pembiayaan pembayaran tunai.
2.      Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak asuransi.
3.2  Saran
              Dari penulisan makalah diatas penulis dapat sarankan kepada pembaca terutama bagi mahasiswa kesehatan untuk lebih bisa mempelajari dan memahami pentingnya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia serta dapat menerapkan dalam kehidupan.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Arianto,Kurniawan. PERUBAHAN POLA PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA SEJALAN DENGAN POLA POLITIK YANG TERJADI. 2011.
2.      Nursanto,Dodik. Pengaruh sistem pembiayaan kesehatan terhadap persepsi kualitas pelayanan pasien. 2009.
3.      Dharmadi, I Made. Partisipasi masyarakat pada pelayanan kesehatan terstruktur dan paripurna. 2009

4.      http://heningtirtakusumawardani.blogspot.co.id/2011/02/sistem-kesehatan-nasional-skn-indonesia.html

Komentar

Postingan Populer